Kontak Person

Phone: 08122624412

BANK
Acc. Bank Mandiri Surakarta No.138-00-0689319-7 a.n. Supawi Pawenang;
Acc. BPD Jateng Cab. Surakarta No.2-002-11942-5 a.n. Supawi Pawenang;

Minggu, 03 Januari 2010

"TENTANG DIRI KITA: Pandangan Para filosof"

Oleh: Supawi Pawenang; Pondok Pangelmon Pawenang.

"The heart has its reason which the reason does not understand". Begitulah komentar Pascal yang menegaskan bahwa hati mempunyai akal-akal yang tidak difahami akal. Hati (coeur/heart) lebih unggul dibanding rasio (raison). Hati menghasilkan pengetahuan dan cinta yang mampu mengenali kebenaran tertinggi (Tuhan), dan rasio menghasilkan pengetahuan yang dingin dalam IPA dan Matematika. Komentar Pascal ini timbul sebagai kritik atas Descartes yang menyarankan filsafat agar meniru matematika dalam berlogika, padahal menurut Pascal matematika bukanlah metode filsafat.

Pendapat Descartes ini ada kesamaan dengan Stoisisme yang berpendapat bahwa “jagad raya dikuasai oleh logos (rasio), maka kejadian berlangsung menurut ketetapan). Ini sejalan dengan pikiran Pythagoras yang menurutnya semua yang ada di semesta ini dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan. Karena, manusia punya rasio yang sanggup mengenal orde universal jagad raya. Manusia bisa mencapai bahagia jika bertindak berdasar rasio”. Hanya saja pendapat Stoisisme ini diberi syarat oleh Augustinus yang mengatakan bahwa rasio insani bisa menemukan kebenaran yang tak terubahkan kalau bisa mencapai rasio ilahi. Rasio Ilahi ini tinggal di batin manusia dan menerangi roh manusiawi. Pandangan Agusinus ini disebut dengan Iluminasi.

Iluminasi itu sendiri menurut Ibnu Sina merupakan salah satu cara untuk mengenal Tuhan. Begitu pula pendapat Enneadeis yang bercorak Neoplatonis mempertegas bahwa untuk mengetahui kesejatian diri dapat dilakukan dengan konsep dari bawah ke atas (bottom up) melalui tiga cara, yaitu: pensucian (melepaskan diri dari pengaruh materi), penerangan atau iluminasi (pengetahuan idea akal budi), dan ekstasis (penyatuan dengan Tuhan melalui segala pengetahuan).

Pendapat Stoisisme dan Descartes ini ada pertalian kesamaan dengan pendapat Aristoteles yang termaktub dalam Teori Bentuk Materi yang menyatakan bahwa setiap jasmani terdiri dari bentuk (morphe, yaitu prinsip yang menentukan) dan materi (yang bersifat terbuka dan tidak menentukan). Bentuk dan materi yang tergabung ini dapat ditangkap dengan rasio. Teori ini terkenal juga dengan sebutan Hylemorphisme.
Manusia terdiri dari substansi (bentuk, jiwa) dan materi. Kedua unsur ini menyatu pada manusia hidup. Jika manusia mati, baik materi ataupun jiwa akan hancur. Teori ini sendiri ada dasarnya adalah mengkritik Plato tentang ide-ide. Menurutnya, manusia adalah yang konkret yang terlihat. Tidak ada ide yang melekat tentang manusia. Arah pendapat ini adalah ilmu pengetahuan yang bersifat empirik berdasar pada ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh bukti dan data konkret, bukan data bersifat metafisis.

Baik Aristoteles maupun gurunya, yaiu Plato, sama-sama tergolong berpaham dualisme. Hanya saja dualisme Plato dituangkan dalam pendapatnya bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Sebelum terkurung dalam tubuh, jiwa telah berada dan memuat ide-ide. Ide-ide akan muncul ketika pengaruh jasmani terlepaskan. Maka, untuk memandang dunia ideal harus melepaskan diri dari dunia jasmani. Menurut Plato, kebanyakan manusia hanya terbelenggu oleh indera. (Ibarat orang tahanan di dalam gua yang sebelumnya pernah melihat apa-apa. Ketika ada bayangan masuk dalam gua, bayangan yang dilihatnya ini dianggap sebagai realitas. Ketika ia bisa keluar dan melihat fenomena luar, maka berangsur-angsur pemahamannya meyakini bahwa ini baru realitas, yang dilihat di gua itu bukan realitas).

Plato mengingatkan bahwa realitas terbagi atas dua dunia, yaitu dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi indera. Dunia yang terbuka bagi rasio bersifat ide-ide. Ide ini merupakan obyek bagi rasio. Satu ide terdapat dalam beragam jenis materi yang sebutannya sama. Dunia yang terbuka bagi indera bersifat materi dan jasmaniah. Plato mengkritik orang yang terlalu percaya indera, karena penginderaan berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan orang senantiasa mengalami peningkatan. Yang semula bayang-bayang dianggap realitas, suatu saat setelah mendapat pencerahan akan mengetahui bahwa bayang-bayang itu ternyata bukan realitas. Orang yang tercerahkan akan mengajak orang lain untuk memahami realitas.

Pandangan alam idea Plato ini bercorak metafisis. Panangan ini ditolak oleh Aristoteles namun mempunyai kesamaan dengan Parmenides. Hanya saja antara Plato dan Parmenides ada perbedaan. Parmenides lebih bercorak monisme dengan berpendapat bahwa yang ada sejauh ada (being as being, being as such), yang ada ada yang tidak ada tidak ada. Di semesta ini yang ada adalah ada. segala-galanya adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi. Pendapat Parmenides ini mempunyai kesamaan dengan pendapat Ibn Rush yang bercorak monopsikisme (ajaran mengenai satu jiwa): jiwa perorangan yang bersifat baqa itu tidak ada, kebebasan dan pertanggung jawaban pribadi juga tidak benar. Kedua pendapat ini hasil dari mengkritik Aristoteles yang mengklasifikasikan akal pasif dan akal aktif. Menurut Rush akal itu tunggal.
Menurut Rush, dunia berada dari kekal. Hanya ada satu jiwa bagi seluruh manusia (monopsikisme). Allah penyebab segala hal (qadim), Allah tidak menyelenggarakan dunia fana.

Pendapat Parmenides ini sendiri berbeda dengan Herakleitos, dan juga dikritik oleh Demokritos. Herakleitos berpendapat bahwa asas pertama adalah api. Baginya api adalah simbol dari perubahan (contoh: kayu menjadi debu). Di Bumi ini semua dalam proses menjadi (pantha rhei: semua berproses mengalir). Sedang menurut Demokritos sesuatu terdiri dari atom-atom yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat berubah menjadi yang lain. Atom-atom senantiasa bergerak membentuk realitas yang nampak indera.

Pendapat-pendapat di atas, terlepas dari kesetujuan ataupun ketidaksetujuan, menunjukkan bahwa ada wacana tentang phisik ataupun metafisik yang melingkupi kesejatian diri manusia. Adanya perbedaan pandangan ini mempertegas suatu kondisi bahwa hal itu layak untuk dibuktikan kebenarannya. Terutama kebenaran secara metafisik atas kedirian manusia. Hal lain yang perlu dibuktikan adalah tentang kemungkinan manusia mencapai kebahagiaan ataupun mengetahui tentang peran Tuhan dalam kehidupan. Karena, berbagai pandangan filosof terdahulu, seperti mazhab skeptisisme berpendapat bahwa manusia tidak akan mampu mencapai bahagia, dan Epikuiranisme berpendapat bahwa Dewa-dewa tidak mempengaruhi dunia. Manusia bisa mencapai bahagia jika tidak takut akan dewa-dewa, dan bisa menggunakan kehendak bebas dengan mencapai kesenangan sebanyak mungkin, dan tetap membatasi kesenangan agar ada keseimbangan dengan batin.

Pendapat Epikurianisme ini bertolak belakang dengan pendapat Thomas Aquinas yang mengatakan bahwa Rasio tidak mampu mengenal Allah, maka tidak bisa ditinjau secara ontologis Menurutnya ada 5 jalan untuk membuktikan peran Tuhan, yaitu adanya gerak dan perubah dalam jasmani, setiap gerak punya penyebab, setiap sebab punya sebab utama, sebab utama tidak digerakkan, sebab utama ini adalah Allah. Penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan berdasar pada konsep partisipasi. Tuhan berkehendak dari ketiadaan (ex nihilo), yang tidak diadakan dari bahan dasar dan tidak terbatas pada satu saat saja. Pendapat Thomas Aquinas ini tentu akan terbantahkan oleh pernyataan Ibn Rush yang berpendapat bahwa jika Tuhan itu Qadim, maka ketiadaan itu tidak ada. Jika ada penciptaan yang berasal dari ketiadaan, maka Tuhan itu tidak Qadim.

Pendapat Ibn Rush seakan mendapat penguatan ketika Spinosa berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Seluruh yang ada di semesta ini adalah substansi Tuhan. Pendapat Spinosa itu dijuluki sebagai Panteisme: Tuhan menjelma dalam semua bentuk. Namun mendapat pelemahan ketika dibandingkan dengan pendapat Leibniz yang mengatakan bahwa banyak substansi, jumlahnya tak terhingga. Substansi ini disebut sebagai Monade. Monade tidak bersifat jasmaniah dan tidak dapat dibagi-bagi. Materi terdiri dari banyak monade. Monade bersifat tertutup untuk monade itu sendiri.
Setiap monade mencerminkan monade yang lain sehingga muncul realitas seluruhnya. Monade bersifat aktif, yang aktivitasnya mengenal dan menghendaki. Hanya monade jiwa yang mampu mencapai kesadaran (cogito). Jiwa hanya satu monade namun tubuh banyak monade. Dua jenis monade ini diharmonisasi oleh Tuhan (harmonie pretablie) sehingga memunculkan aksi-reaksi.

Barkeley tidak setuju dengan pendapat Leibniz. Menurutnya, yang tertuang dalam teori immaterialisme, Tidak ada substansi materiil. Yang ada hanya ciri yang diamati dan pengalaman ruhani saja. Istilahnya: Esse est Percipi. Sesuatu adalah yang dipersepsi. Pendapat Barkeley ini dilanjutkan oleh Hume yang bercorak skeptis dengan mengatakan "karena semua hanya persepsi, maka keilmuan tidak bisa dicapai hingga dasar". Pendapat Hume ini didasari pengalaman (emperia) selama ini, bahwa basis dasar keilmuan adalah pengalaman, yang instrumennya hanya ditekankan pada penangkapan indera. Dalam konsep ilmu pengetahuan berbasis emperia mengakui pengalaman lahiriah maupun batiniah, hanya instrumennya ditekankan pada indera.

Pengakuan Hume tentang perlunya pengalaman batiniah dipertimabangkan dalam keilmuan, menunjukkan adanya kesamaan pandangan dualisme Plato, juga hylemorphisme Aristoteles yang diperdalam oleh Thomas Aquinas. Plato mengatakan manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Aristoteles mengatakan jasmani terdiri dari materi dan bentuk. Menurut Aquinas, itu bukan benda tetapi prinsip metafisis yang bersifat individuasi. Thomas menambahkan bahwa Hylemorph adalah esensi (hakikat) yang menunjuk apanya sesuatu (what is), dan eksistensi (adanya) yang menunjukkan adanya sesuatu (that it is). Kedua hal ini berlaku bagi makhluk yang bersifat majemuk, seperti malaikat ataupun manusia.

Pendapat Thomas Aquinas tentang manusia dapat disimpulkan sebagai berikut: manusia adalah suatu substansi. Jiwa bukan substansi yang lengkap. Jiwa adalah yang menjiwai materi, tetapi bisa lebih luas dari badan, karena berkehendak dan berfikir. Berkehendak dan berfikir merupakan aktivitas rohani, maka jiwa adalah rohani, yang setelah mati jiwa tetap hidup dan jiwa bersifat baqa. Pandangan Thomas Aquinas ini banyak kesamaannya dengan konsep manusia dalam Islam, yang mengakui bahwa Manusia mempunyai sisi rohaniah. Rohani atau jiwa ini akan tetap langgeng di alam setela kematian untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya selama di dunia.

Meskipun begitu pentingnya sisi rohani bagi manusia, namun pengkajian tentang rohani belum mendapat perhatian yang memadai. Terutama tentang apa sejatinya rohani? Bagaimana struktur rohani bekerja? Bagaimana cara memahami rohani? Dan sebagainya.

Tentang jawaban atas pertanyan-pertanyaan ini, nantikan tulisan berikutnya dengan judul: "Tentang Diri Kita: Kesejatian alam jiwa."

Tidak ada komentar:

group

  • groups.google.com/group/pangelmon-spiritualitas
  • pangelmon-spiritualitas@googlegroups.com

Bagaimana pendapat anda tentang tulisan ini

Salam Kenal

kunjungi pula blog http://spiritual-pandrik.blogspot.com/