Keynes menulis buku yang terkenal, yaitu yang berjulul “The General Theory” dan beberapa essay. Di antaranya adalah Essay in Persuassion yang berjulul “ Economic Posibilities for our Grandchildren”. Kedua karya tulis itu berintikan pada masalah kemanusiaan. Menurutnya, manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini menuju kepada arah bahaya (dangerous human proclivities). Bahaya itu timbul, menurut pengamatannya, karena ditimbulkan oleh perilaku kerja manusia yang hampir sepenuhnya menghadapi berbagai bentuk dosa-dosa, seperti adanya kejahatan, kesembronoan, kekejaman, eksploitasi, dan lain-lain, yang semuanya timbul akibat adanya kepentingan individu yang berorientasi mengejar kekuasaan (personal power) dan bentuk-bentuk lain, melalui hegemoni kekuasaan, harta, pengaruh, dan lain-lain.
Akibat perilaku seperti itu, maka orang mempunyai kecurigaan yang tinggi sesama orang. Untuk mengatasi itu maka kepercayaan dialihkan kepada sebuah institusi atau lembaga yang dapat diakses oleh orang kebanyakan, seperti bank, asuransi, dan lain-lain. Kepercayaan terhadap lembaga keuangan menjadi tinggi, dikarenakan aktivitas manusia kebanyakan bergantung pada usaha bagaimana memenuhi keinginan untuk mencari uang.
Berdasar pada pendapatnya seperti itu, maka Keynes berkesimpulan bahwa dalam waktu 1 abad (100 tahun sejak pemikirannya itu), kapitalisme akan terhenti. Ia juga berpendapat bahwa tidak ada sistem lain yang dapat menggantikannya. Menurutnya gantinya yang paling tepat adalah munculnya negara demokrasi. Pendapat Keynes ini diikuti oleh Milton Friedman. Oleh karena itu Friedman menekankan perlunya mekanisme pasar (market mechanism), karena mekanisme pasar merupakan cerminan dari demokratisasi. Mekanisme pasar sendiri menurut Friedman bukanlah untuk melayani Tuhan tetapi untuk melayani kehendak-kehendak yang tidak terpuji agar menjadi lebih terpuji (to serve not God but the devil). Pendukung lainnya, Samuelson mengatakan bahwa moralitas dalam ekonomi dapat ditingkatkan melalui penetapan teknik yang baik dalam mendesain ekonomi.
Pendapat Samuelson ini senada dengan Kate Soper yang mengatakan:
“satisfaction its permit to the ethical demand or justice and equity in the distribution of goods, as (much as) it has to do with the material gratification afforded by those goods”.
Didirikan oleh Supawi Pawenang. Ia adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Pasca Sarjana Universitas Islam Batik Surakarta, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.Menekuni Filsafat Ekonomi.; Acc. Bank Mandiri Surakarta No.138-00-0689319-7 a.n. Supawi Pawenang; Acc. BPD Jateng Cab. Surakarta No.2-002-11942-5 a.n. Supawi Pawenang
Kontak Person
Phone: 08122624412
BANK
Acc. Bank Mandiri Surakarta No.138-00-0689319-7 a.n. Supawi Pawenang;
Acc. BPD Jateng Cab. Surakarta No.2-002-11942-5 a.n. Supawi Pawenang;
BANK
Acc. Bank Mandiri Surakarta No.138-00-0689319-7 a.n. Supawi Pawenang;
Acc. BPD Jateng Cab. Surakarta No.2-002-11942-5 a.n. Supawi Pawenang;
Rabu, 23 Juli 2008
Teori Penilaian Keadilan: Heuristik Penilaian Keadilan
Ide teori ini berasal dari Alland Lind dan dikembangkan oleh Kees van Den Boss. Tujuan dari teori ini adalah mencari penilaian keadilan yang mudah diterapkan. Latar belakang munculnya teori ini adalah adanya pendapat atau kritikan terhadap teori perbandingan sosial yang menurutnya tidak siap diimplementasikan. Teori ini menekankan pada proses kognitif dalam menilai keadilan, yang dibagi ke dalam tiga tahapan kognisi, yaitu: tahapan pra pembentukan, tahapan pembentukan, dan tahapan pasca pembentukan. Pada tahapan pra pembentukan diawali dengan pertanyaan permasalahan tentang mengapa? Kapan? Dan sebagainya. Ini menunjukkan adanya kepedulian awal tentang keadilan, yang kemudian memunculkan berbagai hipotesis seperti adanya relasi sosial, positioning, serta kepastian jawaban. Tahap pembentukan telah melihat pada perlakuan yang diterima, yang terkait dengan pertanyaan tentang prosedur, dan distribusinya. Pertanyaan tentang prosedur mempertanyakan tentang kelompok ataukan bukan kelompok. Sedangkan untuk distributif mempertanyakan tentang inklusi ataukah eksklusi. Tahap pasca pembentukan lebih melihat pada tingkat kepedulian atas suatu problem keadilan.
Penilaian keadilan menggunakan proses kognitif mempunyai dua peran, yaitu ukuran relasi-relasi sosial dan pedoman interpretasi peristiwa berikutnya. Kedua-duanya merupakan keterkaitan antara penilaian keadilan yang bersifat prosedural dan disributif.
Penilaian keadilan menggunakan proses kognitif mempunyai dua peran, yaitu ukuran relasi-relasi sosial dan pedoman interpretasi peristiwa berikutnya. Kedua-duanya merupakan keterkaitan antara penilaian keadilan yang bersifat prosedural dan disributif.
Teori Penilaian Keadilan: Preferensi Kognisi
Teori ini merupakan reaksi atas keadilan distributif. Teori ini lebih melihat pada simulasi mental dalam melihat peristiwa atau keadaan yang berbeda dengan yang dialami. Teori ini lebih menekankan pada bagaimana cara berfikirnya sehingga asumsinya adalah adanya proses analisis dengan kognisi yang dapat berbentuk simulasi heuristik, yaitu proses imaginatif tentang berbagai pencapaian. Proses ini memerlukan tiga tahapan, yaitu referensi hasil, justifikasi, serta peluang. Referensi hasil dapat berupa sesuatu yang telah nyata atau masih bersifat imaginatif. Justifikasi dapat dilihat dari kesesuaian, penerimaan secara moral, juga hubungan yang selaras antara dua hal. Peluang mencerminkan prognosa hasil. Ketiga hal ini disimpulkan menjadi output penilaian keadilan. Sesuatu dikatakan adil jika referensi hasilnya rendah, justifikasinya tinggi, dan peluangnya juga tinggi. Sementara sesuatu dikatakan tidak adil jika referensi hasilnya tinggi, namun jastifikasi ataupun peluangnya rendah.
Teori ini hanya menggambarkan deprivasi relatif sehingga tidak diakui sebagai penilaian keadilan.
Teori ini hanya menggambarkan deprivasi relatif sehingga tidak diakui sebagai penilaian keadilan.
Teori Penilaian Keadilan: (Teori) Atribusi
Teori ini menekankan pada adanya pemberian atribut kepada individu yang didasarkan pada faktor yang melatarbelakangi. Penilaiannya meliputi prosedur dan distribusi. Blockner dan Wiesenfeld berpendapat bahwa penilaian keadilan didasarkan pada atribusi hasil yang menentukan sesuai dan tidak sesuainya tindakan, dan atribusi pelaku yang menghasilkan sudut pandang internal atau eksternal seperti dalam menentukan sukses ataukah gagal. Atribusi perilaku ini didasarkan pada prosedur dan distribusi.
Penilaian keadilan distribusi lebih menekankan pada peran distribusi. Jika sesuai dengan harapan, maka sesuatu itu dikatakan adil, dan jika tidak sesuai dengan harapan maka sesuatu itu dikatakan tidak adil.
Penilaian keadilan distribusi lebih menekankan pada peran distribusi. Jika sesuai dengan harapan, maka sesuatu itu dikatakan adil, dan jika tidak sesuai dengan harapan maka sesuatu itu dikatakan tidak adil.
Teori Penilaian Keadilan: Perbandingan Sosial
Teori ini memaparkan keadilan dengan berbagai asumsi yang sekaligus merupakan persyaratan untuk dikatakan adil. Sesuatu dapat dikatakan adil jika setidaknya: 1) terdapat dua orang atau pihak yang saling sepakat, 2) jika sesuai dengan prinsip keadilan proporsional (equity theory). Teori ini menekankan kesamaan, seperti apa yang diperoleh sama dengan yang dikeluarkan, 3) sesuai dengan konteks sosial, sehingga outputnya berupa keadilan sosial, 4) dapat diperbandingkan, yang nantinya akan menjadi keadilan distributif, 5) ada pembanding dan ada yang dibandingkan. Penilaian ini akan membedakan antara fokus perbandingan dan unit perbandingan. Fokus perbandingan meliputi info subyektif dan info obyektif. Unit perbandingan meliputi peran personal, sosial, referensi, dan sejenisnya, 6) menunjukkan kesamaan, yang tekanannya pada unsur kognisi, afeksi, dan psikomotor.
Teori Keadilan Ross
Inti pemikiran teori keadilan Ross terletak pada pandangan konsistensi dalam, yang memprioritaskan pada nilai. Nilai sendiri menurut Ross harus dapat diramalkan, terjadi atas dasar keteraturan, adanya konsistensi dalam tingkah laku, dan adanya keteraturan obyektif. Diantara keempat keharusan tersebut, keteraturan obyektif dianggap sebagai pelawan dari kesewenang-wenangan subyektif. Jadi, konsep keadilan Ross menekankan adanya jaminan yang dapat diperhitungkan dalam hubungan kehidupan komunitas.
Pendekatan yang digunakan Ross mengedepankan pada aspek ilmiah. Ia menolak pemikiran yang bersifat metafisis, seperti moral, norma, ataupun hukum. Karena pendekatannya ilmiah, maka perlu adanya prinsip formal yang harus dipegang. Menurut Ross, keadilan adalah sebagai dasar hukum, oleh karena itu perlu aturan umum, yang berguna untuk mengidentifikasi baik ataupun buruk, juga sebagai pedoman untuk pencapaian tujuan. Penerapan aturan ini diyakini Ross sebagai cerminan dari efisiensi. Maka ia berpendapat “persamaan yang secara luas dihargai sebagai inti keadilan”. Teorinya ini dikenal dengan sebutan teori emotif.
Karena keadilan juga mencerminkan moral, maka terdapat prinsip yang dapat digunakan sebagai keadilan moral. Prinsip keadilan moral tetap memerlukan aturan dan rasionalitas, yang berujung pada formalisasi aturan. Formal ini setara dengan moral, legal, hak dan kewajiban, juga substansi. Formal lebih bersifat rasional, karena mencerminkan adanya kejelasan, konsistensi, dan pertalian yang semuanya konkrit. Sedangkan substansi bersifat emotif seperti rasa suka tidak suka, boleh tidak boleh, dan sebagainya yang semuanya bersifat abstrak.
Aspek moral mempunyai perkembangan yang mengarah pada tujuan, perluasan simpati, penjelasan kebutuhan yang progresif, juga pemahaman kewajiban dan norma itu sendiri. Perkembangan moral tersebut mutlak memerlukan aspek kognitif. Oleh karena itu unsur rasionalitas merupakan sesuatu yang mutlak.
Pendekatan yang digunakan Ross mengedepankan pada aspek ilmiah. Ia menolak pemikiran yang bersifat metafisis, seperti moral, norma, ataupun hukum. Karena pendekatannya ilmiah, maka perlu adanya prinsip formal yang harus dipegang. Menurut Ross, keadilan adalah sebagai dasar hukum, oleh karena itu perlu aturan umum, yang berguna untuk mengidentifikasi baik ataupun buruk, juga sebagai pedoman untuk pencapaian tujuan. Penerapan aturan ini diyakini Ross sebagai cerminan dari efisiensi. Maka ia berpendapat “persamaan yang secara luas dihargai sebagai inti keadilan”. Teorinya ini dikenal dengan sebutan teori emotif.
Karena keadilan juga mencerminkan moral, maka terdapat prinsip yang dapat digunakan sebagai keadilan moral. Prinsip keadilan moral tetap memerlukan aturan dan rasionalitas, yang berujung pada formalisasi aturan. Formal ini setara dengan moral, legal, hak dan kewajiban, juga substansi. Formal lebih bersifat rasional, karena mencerminkan adanya kejelasan, konsistensi, dan pertalian yang semuanya konkrit. Sedangkan substansi bersifat emotif seperti rasa suka tidak suka, boleh tidak boleh, dan sebagainya yang semuanya bersifat abstrak.
Aspek moral mempunyai perkembangan yang mengarah pada tujuan, perluasan simpati, penjelasan kebutuhan yang progresif, juga pemahaman kewajiban dan norma itu sendiri. Perkembangan moral tersebut mutlak memerlukan aspek kognitif. Oleh karena itu unsur rasionalitas merupakan sesuatu yang mutlak.
Teori Keadilan Del Vecchio
Pemikiran Del Vecchio termasuk dalam idealisme filosofis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan epistemologis yang mendasarkan pada kesadaran diri sendiri seseorang akan berdampak pada kesadaran orang lain. Alasannya adalah, kesadaran seseorang adalah bersifat subyektif, dan seseorang tersebut disebut sebagai subyek. Karena dalam masyarakat terdiri banyak manusia yang masing-masing berperilaku sebagai subyek, maka terjadilah hubungan antar subyek. Munculnya hubungan antar subyek ini menghasilkan kewajiban bilateral, karena pada dasarya antar subyek tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda yang ternyata menimbulkan transaksi timbal balik. Di satu sisi manusia menuntut kewajibannya dan di sisi lain manusia wajib memenuhi tuntutan.
Hubungan antar pribadi yang terjadi semacam ini tidak sama dengan kesadaran murni. Hubungan antar pribadi ini yang lebih signifikan menimbulkan motif tindakan ataupun menuntut tindakan. Tidak kongruennya antara hubungan antar pribadi dan kesadaran murni ini maka keadilan hanya sebagian.
Hubungan antar pribadi yang terjadi semacam ini tidak sama dengan kesadaran murni. Hubungan antar pribadi ini yang lebih signifikan menimbulkan motif tindakan ataupun menuntut tindakan. Tidak kongruennya antara hubungan antar pribadi dan kesadaran murni ini maka keadilan hanya sebagian.
Langganan:
Postingan (Atom)
group
- groups.google.com/group/pangelmon-spiritualitas
- pangelmon-spiritualitas@googlegroups.com
Bagaimana pendapat anda tentang tulisan ini
Salam Kenal
kunjungi pula blog http://spiritual-pandrik.blogspot.com/